Senin, 10 Agustus 2009

UPACARA SAUR MATUA (Batak Toba)

I. Pendahuluan
Kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini (Sumardjo,2002:107). Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau lambat akan menjemput kehidupan dari masing-masing manusia.

Namun wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.

Pada masyarakat Batak, kematian (mate) di usia yang sudah sangat tua, merupakan kematian yang paling diinginkan. Terutama bila orang yang mati telah menikahkan semua anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Dalam tradisi budaya masyarakat Batak (khususnya Batak Toba), kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Tulisan ini membahas mate saur matua sebagai sebuah upacara kematian warisan produk kebudayaan masa lampau melalui tinjauan etnoarkeologi. Kiranya tulisan ini mampu memberikan tinjauan kritis dan arif, terutama melalui konteks sistem (hubungan masyarakat Batak Kristen dengan upacara saur matua dari waktu terdahulu hingga terkini). Apalagi dimasa terkini, upacara ini sering memunculkan kontroversi seputar ketidaksetujuan dari sebagian masyarakat Batak Kristen untuk melestarikannya. Upacara saur matua dianggap bertentangan dengan ajaran agama baru (Kristen) yang mereka anut.

Etnoarkeologi merupakan ilmu arkeologi yang menggunakan data etnografi sebagai analogi untuk membantu memecahkan masalah-masalah arkeologi (Puslitarkenas,1999:188-190). Dalam tulisan ini, data etnografi berupa upacara saur matua di kalangan masyarakat Batak Kristen (pada masa terkini) dijadikan sebagai salah satu bahan analogi dalam usaha merekonstruksi kebudayaan religi masyarakat Batak pada masa lampau yang berkaitan dengan konsep kematian. Hasil dari penelitian etnoarkeologi ini hanya sekedar memberi gambaran kemungkinan adanya persamaan antara gejala budaya masa lampau dengan budaya masa kini, atau sebagai argumentasi penghubung dalam rangka uji hipotesis, model, dan teori tentang terjadinya transformasi budaya pada upacara saur matua dari masa pra-Kristen hingga sampai masa terkini sesudah masuknya pengaruh agama Kristen.

II. Klasifikasi upacara adat kematian dalam tradisi masyarakat Batak
Dalam tradisi Batak, orang yang mati akan mengalami perlakuan khusus, terangkum dalam sebuah upacara adat kematian. Upacara adat kematian tersebut diklasifikasi berdasar usia dan status si mati. Untuk yang mati ketika masih dalam kandungan (mate di bortian) belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati). Tetapi bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate dakdanak), mati saat remaja (mate bulung), dan mati saat sudah dewasa tapi belum menikah (mate ponggol), keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat : mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas masyarakat Batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan untuk mate dakdanak dan mate bulung, ulos dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati. Upacara adat kematian semakin sarat mendapat perlakuan adat apabila orang yang mati: 1. Telah berumah tangga namun belum mempunyai anak (mate di paralang-alangan / mate punu), 2. Telah berumah tangga dengan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil (mate mangkar), 3. Telah memiliki anak-anak yang sudah dewasa, bahkan sudah ada yang kimpoi, namun belum bercucu (mate hatungganeon), 4. Telah memiliki cucu, namun masih ada anaknya yang belum menikah (mate sari matua), dan 5. Telah bercucu tidak harus dari semua anak-anaknya (mate saur matua). Mate Saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya, yaitu mate saur matua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42). Namun keduanya
dianggap sama sebagai konsep kematian ideal (meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi).

0 komentar: